Senin, 18 Agustus 2025

KISAH AYAH DALM DIAM | PELUKAN YANG BELUM TERSAMPAIKAN

 


Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahku bernama Sadiman, ibuku Hariana. Aku memiliki dua adik: seorang perempuan bernama Nurul Nadia dan seorang laki-laki bernama Nico Revaldi.

Dalam tulisan ini aku ingin bercerita tentang aku dan ayahku—sebuah kisah nyata, tanpa tambahan bumbu penyedap. Hanya kisah sederhana yang pernah kualami, yang masih membekas hingga kini.

Aku dan adik-adikku terpaut usia cukup jauh. Dengan Nadia, selisihku sembilan tahun, sementara dengan Reval terpaut dua belas tahun. Jarak yang tidak bisa dibilang dekat. Karena sempat menjadi anak tunggal, aku pernah merasa begitu dekat dengan ayah. Kedekatan itu bukan hanya soal fisik, tapi juga emosional. Kami sering berbincang, bercanda, bahkan nyaris ke mana pun aku selalu diajaknya.

Ayah sering menuturkan kisah masa lalunya, memberi nasihat, atau sekadar mengobrol ringan yang menghadirkan rasa hangat antara orang tua dan anak. Jika ada kesempatan, aku ikut dia memancing atau sekadar berkumpul bersama teman-temannya. Saat itu, aku belum benar-benar memahami arti kebersamaan itu. Yang kutahu hanyalah kebahagiaan sederhana: bersama ayah adalah kesenangan, dan dalam pikiranku yang masih polos, aku percaya momen itu akan berlangsung selamanya.

Tahun 2012, adikku lahir. Nadia. Kelahirannya membawa kebahagiaan baru dalam keluarga kami. Bagiku, ia adalah jawaban dari doa-doa kecilku yang sejak lama mendambakan seorang adik. Nama itu—Nurul Nadia—lahir dari kesepakatan ayah, ibu, dan aku. Tak ada makna khusus di baliknya, hanya terdengar indah dan sederhana.

Namun seiring Nadia tumbuh, ada perubahan besar yang terjadi padaku. Sebelum ia lahir, aku terbiasa memanggil ayah dengan sebutan “Bapak.” Setelah Nadia mulai bisa berbicara, ia menyebut ayah dengan kata “Ayah.” Perlahan, aku pun ikut terbawa arus perubahan itu. Bayangkan, setelah sembilan tahun terbiasa dengan panggilan “Bapak,” aku harus beradaptasi menyebut “Ayah.” Butuh waktu tiga tahun untuk benar-benar terbiasa.

Perubahan itu juga menjadi awal dari jarak kecil yang pelan-pelan tumbuh. Setelah kehadiran Nadia, kedekatanku dengan ayah mulai berkurang. Bukan dalam hal kasih sayang—itu tidak pernah berkurang—melainkan dalam komunikasi. Awalnya kuanggap biasa, tapi seiring waktu, aku menyadari bahwa percakapan panjang di antara kami semakin jarang.

Lalu pada tahun 2015, lahirlah adik bungsuku, Nico Revaldi, saat aku berusia 12 tahun. Dengan bertambahnya anggota keluarga, kesibukan ayah kian bertambah. Di usia itu aku sudah merasakan adanya jarak. Aku yang dulu sering bercerita dengan ayah, perlahan mulai dingin. Sebagian orang mungkin mengira aku terabaikan karena hadirnya adik-adikku. Tapi kenyataannya tidak begitu. Aku sadar, itu karena tanggung jawab yang semakin berat sebagai kepala keluarga.

Ayah bukanlah orang yang lembut dalam kata-kata, tapi ia tak pernah kurang dalam tanggung jawab. Ia keras dalam sikap, keras kepala, tapi sekaligus pekerja keras. Ia bukanlah ayah yang kejam. Ia penyayang, hanya saja mengungkapkan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda.

Untuk menghidupi keluarga, ayah tak pernah memilih-milih pekerjaan. Salah satunya adalah pekerjaan mencari lipan atau kelabang, pekerjaan yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Bersama teman-teman sekampung, bahkan bisa dibilang se-kecamatan, ayah mencari lipan. Di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara, pekerjaan ini dikenal luas meski penuh risiko. Bahaya, sulit, namun menjadi penyelamat bagi banyak keluarga sederhana.

Selain itu, ayah juga bekerja sebagai kuli bangunan dan buruh tani di tanah orang. Prinsipnya jelas: jika pekerjaan itu halal dan mampu ia lakukan, maka ia akan menjalaninya.

Setelah tamat SMP dan melanjutkan ke SMA, pola komunikasiku dengan ayah tetap sama. Dalam sehari, kadang kami tak saling berbicara. Kalau pun ada, biasanya hanya percakapan singkat. Aku bertanya, “Yah, mamak di mana?” atau “Yah, ada nampak gunting nggak?” Sebaliknya, ayah pun berbicara padaku kalau butuh bantuan: membeli sesuatu, atau menemaninya melakukan pekerjaan.

Padahal, kami sering bersama: menonton televisi, mencari ikan, membangun kandang kambing. Tetapi di tengah kebersamaan itu, jarang sekali tercipta obrolan panjang. Yang ada hanyalah keheningan. Anehnya, meski jarang berbicara, aku merasa begitu dekat dengan ayah secara batin. Kedekatan yang sulit kuterangkan, tapi selalu membuatku yakin: ayah sangat menyayangiku.

Kini, di usiaku yang ke-22 tahun, saat aku merantau, hal itu masih berlangsung. Aku jarang berkomunikasi dengan ayah. Bahkan saat menelpon ibu atau adik-adik, aku sering merasa canggung bila harus berbicara langsung dengan ayah, dan begitu pula sebaliknya. Saat pulang kampung, aku hanya sebatas menyalami dan mencium tangannya. Padahal, jujur saja, aku ingin sekali memeluknya, sebagaimana aku memeluk ibu. Tapi ada sesuatu yang menahan, entah apa.

Jika ayah ingin menyampaikan nasihat, ia menyampaikannya lewat ibu. Ibu lalu berkata padaku, “Tadi ayah bilang jangan macam-macam di tanah rantau.” Atau banyak pesan lain yang selalu sampai padaku lewat perantara. Tak ada satu pun nasihatnya yang kudengar langsung di masa dewasaku ini.

Meski begitu, aku sering mendengar ayah berbicara tentangku saat aku pulang kampung. Tengah malam, ketika aku belum tidur, aku mendengar ayah dan ibu masih menonton televisi. Obrolan mereka kadang membuatku diam-diam tersenyum. Mereka membicarakanku dengan bangga, meski aku merasa belum meraih apa pun. Kadang juga kudengar penyesalan mereka—merasa bersalah karena belum bisa memberikan kehidupan yang lebih layak bagi anak-anaknya. Tapi bagiku, itu tidak benar.

Ayah dan ibu sudah memberikan segalanya. Kasih sayang, pelajaran hidup, teladan tentang kerja keras. Dari kesederhanaan itu, aku belajar banyak hal yang tak ternilai harganya.

Untuk ayahku, terima kasih telah menjadi sosok tangguh yang menjaga kami. Terima kasih telah berdiri sebagai kepala keluarga yang penuh tanggung jawab. Jujur, aku rindu berbincang seperti dulu, saat aku kecil. Kini, hanya tulisan ini yang bisa kucurahkan.

Aku tahu, ayah mungkin takkan pernah membaca tulisan ini. Ia bukan orang yang akrab dengan gadget. Maka bila suatu saat adik-adikku membaca, aku titip pesan: sampaikan pada ayah, bahwa aku menyayanginya.

Ayah, aku menyayangimu. Tetaplah bersamaku selama mungkin.


Sabtu, 12 Juli 2025

kisah yang di mulai dari titik | bagian 1

Langit malam tampak biasa-biasa saja malam itu. Tak ada bintang jatuh, tak ada angin yang berbisik. Hanya Fijai, duduk sendiri di tepi tempat tidurnya, ditemani cahaya biru dari layar ponsel. Hari itu, 2 April 2021. Pandemi masih membuat dunia sepi. Jalanan sunyi, langit kosong, dan perasaan-perasaan tumbuh dalam diam.

Ia membuka Facebook seperti rutinitas bosan: scroll, lihat, lewati. Tapi malam itu ada sesuatu yang berbeda,sebuah nama muncul berulang kali. Azizah. Gadis itu menyukai semua story-nya hari itu. Bukan satu. Bukan dua. Tapi semua.

Ia terdiam sejenak, lalu tanpa alasan yang jelas, jempolnya mengetik sebuah titik:
"."

Satu karakter. Satu percobaan absurd. Sebuah keberanian kecil dari seorang Fijai yang bahkan tak tahu ingin bicara apa.

Dan hanya dalam hitungan detik, balasan datang:

“Iya, kenapa?”

Kepalanya panik, jarinya gugup. Ia membalas cepat:

“Maaf Kak, salah kirim.”

Dari situ semuanya dimulai. Dari sebuah kesalahan yang ternyata bukan kesalahan. Dari satu titik yang perlahan menjadi kalimat. Kalimat menjadi obrolan. Obrolan menjadi keterikatan. Dan keterikatan... menjadi rasa.

Beberapa waktu sebelumnya, Fijai pernah melihat Azizah secara langsung. Sebuah festival seni mempertemukan mereka tanpa benar-benar saling kenal. Ia tak menyangka bahwa gadis dengan wajah tenang itu kelak akan menjadi sosok yang paling sering hadir dalam notifikasinya, dan kemudian... dalam hatinya.

Mereka mulai bertukar nomor, lalu media sosial lainnya. Azizah memanggilnya "Kak Fijai", dengan nada manis yang membuat nama itu terdengar lebih hangat dari biasanya.
Dan Fijai... menyebutnya "Kak Nay". Entah kenapa. Panggilan itu muncul begitu saja, seperti perasaan yang tumbuh diam-diam, tanpa aba-aba.

Hari-hari berlalu. Dunia luar tetap sunyi karena pandemi, tapi dunia Fijai terasa penuh warna. Chat panjang, tawa ringan, video call hingga larut malam. Semua terasa begitu alami. Seolah tak perlu ada status untuk merasa dekat.
Tapi kenyataannya, sesuatu memang sedang tumbuh pelan-pelan, halus, seperti daun yang merekah setelah hujan.

Fijai jatuh hati.
Tapi ia juga jatuh dalam keraguan.

Ia belum pernah mencintai sebelumnya. Ia merasa tak cukup: wajah biasa, hidup sederhana, dan tidak ada hal istimewa yang bisa ditawarkan.
Azizah terlalu baik untuk seseorang sepertinya. Itu pikirnya.
Jadi ia memilih untuk diam. Mencintai dalam senyap. Menjaga perasaan seperti merawat bunga yang tak pernah disiram.

Suatu malam, sebuah pesan dari Kak Nay membuat dadanya sesak:

“Kak Fijai, kalau ada seseorang yang dekat denganku, gimana menurut kakak?”

Jantungnya berdetak tak karuan. Tapi jemarinya memilih kalimat yang sebaliknya:

“Ya baguslah. Kalau ada yang suka sama Kak Nay.”

Padahal hatinya menjerit:
"Akulah orang itu. Tapi aku terlalu takut untuk mengatakannya."

Tak lama kemudian, Kak Nay membalas:

“Kalau kakak suka sama seseorang, kejar dia. Jangan sampai dia jadi milik orang lain dan kakak menyesal nanti.”

Kalimat itu menusuk. Tidak kasar, tapi dalam. Seolah ia sedang berkata,
"Kejar aku, sebelum aku pergi."

Tapi lagi-lagi, Fijai memilih diam.
Ia pikir, jika Azizah benar-benar bahagia dengan orang lain, maka biarlah begitu.
Karena kadang mencintai juga berarti membiarkan pergi.

Malam minggu itu, langit lebih gelap dari biasanya. Fijai merindukan suara Kak Nay. Maka ia kirim pesan:

“Assalamualaikum, Kak Nay?”

Tak ada balasan. Ia kirim lagi. Ia telepon. Masih sunyi.

Jam demi jam berlalu, hingga akhirnya, pukul 11 malam, layar ponselnya menyala.
Sebuah pesan masuk. Panjang. Penuh jeda yang menyakitkan:

“Assalamualaikum, Kak Fijai. Maaf sudah mengabaikan chat kakak tadi. Tadi ada temanku yang datang ke rumah dan menyampaikan perasaannya padaku. Sekarang kami sudah jadian. Aku harap kakak mengerti posisiku sekarang. Aku ingin ini jadi komunikasi terakhir dari kita. Maaf kalau selama ini aku banyak salah. Wassalamualaikum.”

Fijai terdiam.

Yang selama ini ia takutkan... benar-benar terjadi.
Yang selama ini ingin ia ucapkan... kini tak lagi ada tempatnya.

Azizah pergi. Bukan dalam marah. Bukan dalam luka. Tapi dalam keputusan.
Dan Fijai hanya bisa duduk di antara kalimat-kalimat yang tak sempat ia kirimkan.
Ia kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar dimilikinya.

Dan begitulah cinta kadang bekerja:
menumbuhkan rasa, tanpa memberi kesempatan untuk menuainya.


bersambung...

TINTA LARA PADA SERPIHAN RENJANA | Sebuah puisi tentang kehilangan, kenangan, dan keheningan yang dititipkan pada angin.

 

Ada masa dimana kita tidak bisa berteriak

tidak bisa berbuat banyak, dan tak ada seorang pun 

yang mengetahui apa yang kita rasa.

dan hanya pada puisi kita menyampaikan apa isi hati kita,

apa yang kita rasa, dan apa yang terjadi pada kita


puisi ini terlahir di malam yang kelam

tercipta di ruang yang sepi, dan puisi ini

menyampaikan tentang sepi yang tak ternama.

pada relung hati yang bercerita melalui diksi diksi

dan semoga puisi ini menjadi penawar bagi kamu

yang belum bisa melupakan tentangnya




Tinta Lara pada Serpihan Renjana

                                                                    karya: Riyansah

Masihkah ingat tentang tinta lara ini, hai kalbuku?
Rasanya aku seperti atmaja yang merindu senja,
walau kutahu, senja akhirnya akan pergi—ditelan malam.

Pada kelopak mawar yang menyentuh tanah,
karena desir angin yang menerpanya...
Rinai hujan di hamparan sepi,
sama saja seperti mencari rumput di gurun pasir.

Pada seuntai puisi, aku bercerita.
Pada semilir angin, kutitip serpihan renjana.

                                                                 Batam, 13 juli 2025




jika di jelaskan secara detail , puisi ini menceritakan tentang perpisahan, kerinduan, dan  kesendirian yang sudah menyatu dalam kesunyian. puisi ini bukan tentang seorang yang merengek tentang pedihnya perpisahan namun tentang seseorang yang sudah lama tenggelam dalam keheningan, sehingga menjadikan alam sebagai pengantar rasa sepi yang dia alami 

sebagaimana dalam baris pertama 

      "masikah ingat tentang tinta lara ini, hai kalbuku?"

pada bagian ini kita bisa mengetahui bahwasannya sang penulis sedang berbicara kepada dirinya sendiri, dan bukan kepada orang lain. karena ia sadar bahwasaanya hatinya telah lama tenggelam dan hampir mati karena kesepian yang berlarut larut di dalamnya


dalam puisi ini, sang penulis banyak menggunakan diksi simbolisme dan imanijasi. seperti senja dalam puisi ini dijalaskan aerti kata senja adalah sesuatu yang indah namun sementara, disini kita menyadari bahwasannya sesuatu yang indah sekalipun akan meninggalkan kita, dan ini bukan hanya sekadar kata kata puitis. namun juga sebagai filosofi kehidupan,

      “Rasanya aku seperti atmaja yang merindu senja, 

        walau kutahu senja akhirnya akan pergi—ditelan malam.”

pada bagian ini sangat jelas bahwasannya sang penulis membandingkan dirinya dengan kata atmaja (seorang anak) yang menciptakan citra kerinduan yang polos, bagai seorang anak yang menunggu ayahnya pulang, namun dia tidak tahu kapan ayahnya akan pulang


di bagian yang lain juga di ceritakan tentang kelopak mawar menyentuh tanah, yang berarti keindahan yang mudah rapuh. desir angin juga menggambarkan sesuatu kenyataan yang tidak bisa di lawan , dan membuat keindahan yang rapuh itu akan jatuh dan hilang


Rinai Hujan di Hamparan Sepi

“Sama saja seperti mencari rumput di gurun pasir.”
Satu kalimat ini menyiratkan usaha sia-sia.
Kamu tahu bahwa menunggu, berharap, atau mencari dia adalah aksi yang mustahil, tapi kamu tetap menyebutkannya—karena itulah kenyataannya.

Ini adalah bentuk kerinduan eksistensial, yang tahu bahwa yang dirindukan tidak akan pernah datang lagi, namun tetap merasa harus menyampaikannya.


Semilir Angin dan Renjana

“Pada semilir angin, kutitip serpihan renjana.”
Kata renjana berarti cinta yang mendalam, nyaris spiritual.
Kamu menitipkannya pada angin, sesuatu yang tak bisa ditangkap, tak bisa disimpan, dan tak pernah menetap.

Ini pengakuan bahwa cinta itu tak bisa kamu simpan lagi.
Kamu melepaskannya, tapi dengan cara paling puitis dan menyakitkan: dengan harapan angin akan menyampaikan, walau kamu tahu angin tak pernah benar-benar kembali.


    puisi ini adalah bagian dari prosesku, yang sulit dalam melupakan seseorang, menceritakan tentang diriku yang berusaha keras berdamai dengan keadaan karena perpisahan yang sulit intuk di ceritakan,


pesan penulis kepada pembaca


terkadang hidup bukan selalu apa yang kita harapkan

namun hidup juga bagian dari sebuah ketetapan

jadi janganlah terpaku kepada sebuah angan yang belum terisi dengan kejelasan

karena pada hakikatnya tuhan sudah menetapkan jalan bagi setiap insan

 

Sabtu, 05 Juli 2025

BUKAN HARAPAN | puisi tentang kegagalan dari jiwa yang letih

 

 Bukan Harapan

Karya: Riyansah

Di pertengahan ruang yang kumal,
Beribu harapan terpikulkan.
Hiruk-pikuk pikiran terbebankan,
Nadi mimpi terasa tak terkendalikan.

Tak tahu kapan semua berakhir,
Pupus, kelar sudah diriku.
Sementara waktu terus berlalu,
Dan aku masih termangu.

Haa... seorang anak sepertiku,
Tak pantas akan sebuah impian.
Langkah pun selalu di jalan terjal,
Tak pernah ada kemulusan.

Salahkah menjadi harapan?
Aku hanya ingin kebahagiaan.
Tirai hidup terbengkalai,
Tak ada cahaya tergapai.

Haa...
Aku bukan anak impian,
Bukan pula pantas jadi harapan.
Aku hanya pencundang... dan beban.

Batam, 6 juli 2025


Puisi ini lahir dari perasaan seorang anak yang tumbuh dewasa dengan satu keinginan paling tulus: membahagiakan orang tuanya. Meski tak pernah diminta atau dituntut apa pun secara langsung, ia tahu dalam diam dirinyalah yang diam-diam menjadi harapan. Harapan yang digantungkan dalam doa-doa malam, harapan yang disematkan pada setiap langkah kecil yang ia ambil.

Namun, tak semua harapan berjalan seindah bayangan. Dunia tidak selalu ramah. Rasa gagal mulai menyusup dalam hati, dan bayangan tentang menjadi "anak yang membanggakan" terasa makin jauh. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri apakah ia benar-benar pantas disebut harapan, jika langkah langkahnya terus tersandung dan mimpinya tak kunjung bersinar?

"Bukan Harapan" bukan sekadar luapan kesedihan. Ini adalah potret jiwa yang diam-diam lelah, namun tetap mencintai. Anak itu tidak sedang menyerah,ia hanya sedang jujur bahwa menjadi harapan adalah beban yang tak ringan, apalagi ketika hidup tak sepenuhnya berpihak.

Puisi ini mengajak kita merenung:
Bahwa di balik wajah-wajah tenang anak-anak kita, saudara kita, bahkan diri kita sendiri,
kadang ada jiwa yang sedang bertahan untuk tidak mengecewakan,
meski ia sendiri merasa sudah runtuh.